Senin, 25 Januari 2010

'Babe' Si Tukang Mutilasi Anak Jalanan

Liputan6.com - Babe alias Ulah Baekuni (49), menjadi topik pemberitaan terhangat di media massa dua pekan terakhir ini. Bos pengamen dan anak jalanan di kawasan Terminal Pulogadung, Jakarta Timur ini, menjadi tersangka dalam kasus pembunuhan terhadap anak-anak jalanan dengan cara mutilasi. Jumlah korbannya, menurut polisi, hingga Jumat (22/1), mencapai 10 orang.


Korban terakhir adalah Ardiansyah, pengamen jalanan yang tinggal Gang Ketut RT 4/RW 7 Cakung, Jakarta Timur. Bocah berusia 9 tahun ini ditemukan 8 Januari lalu, di dekat jembatan proyek Banjir Kanal Timur, Jalan Raya Bekasi. Meski tubuhnya tidak utuh, polisi mampu  mengidentifikasi korban, termasuk mengendus pelakunya.

Korban-korban pria asal Magelang, Jawa Tengah ini, sebagaimana temuan polisi, adalah anak-anak jalanan, berusia di bawah 12 tahun. Dari pengakuan Babe, korban dibunuh karena menolak disodomi. Setelah disodomi, tubuh korban dimutilasi, sebagaimana dialami Adriansyah, dan kemudian dibuang.

Korban Babe tidak hanya di Jakarta, juga di provinsi lain. Menurut Kasat Jatanras Polda Metro Jaya, AKBP Nico Afinta, korbannya juga ada Purworejo pada 1995, Kuningan pada 1997, dan bahkan Magelang pada 2004, yang merupakan kampung halaman Babe. Jasad para korban satu persatu diketahui setelah mendengar pengakuan Babe.


Aksi Babe ini mengingatkan kita pada Siswanto alias Robot Gedek, beberapa tahun lalu. Pria kelahiran Pekalongan, Jawa Tengah ini beraksi pada rentang waktu 1994-1996, di wilayah Jakarta dan Jawa Tengah. Korbannya mencapai 12 orang anak. Umumnya pelaku membunuh korban, lalu mensodomi, baru kemudian dimutilasi. Karena perbuatan sadisnya, Robot Gedek dijatuhi hukuman mati. Namun sebelum dieksekusi, ia meninggal dunia akibat serangan jantung.

Tentu kita tidak berharap ada pengganti Babe atau Robot Gedek yang masih beraksi, dan belum terendus polisi. Sebab, ada ribuan anak-anak yang terpaksa mencari nafkah di jalanan di Jakarta dan sekitarnya. Selama masih di jalanan, mereka membutuhkan "perlindungan". Anak-anak jalanan sering dikejar petugas Trantib atau Satpol PP, karena dinilai merusak keindahan kota. Begitupun dengan ulah para preman, yang memeras anak-anak jalanan.

Sosok orang seperti Babe selama ini dibutuhkan anak-anak jalanan. Mereka ingin dilindungi agar bisa nyaman mencari nafkah. Babe bukan dipaksa melawan melawan Satpol PP atau tukang palak, tapi sekadar tempat mengadu jika mereka ada masalah. Sesekali Babe memang menyembunyikan mereka dari kejaran aparat. Tidak sedikit orangtua anak-anak, yang menjadi korban Babe, yang kerap menitipkan anak mereka pada pria paruh baya itu.

Kendati Babe sudah ditangkap, bukan berarti anak-anak yang mencari nafkah di jalanan di Jakarta, relatif aman dari tindak kriminal atau perlakuan sadis lainnya. Menurut data Komnas Perlindungan Anak, jumlah anak jalanan di Jakarta saja pada 2009 mencapai sekitar 12.000 orang. Adakah upaya pemerintah "menjaga" anak-anak jalanan dari korban kekerasan?

Pemerintah memang punya upaya dalam menangani anak jalanan. Departemen Sosial misalnya, membangun rumah singgah, menyediakan fasilitas pelatihan bagi anak jalanan, serta melakukan pembinaan untuk meningkatkan peran keluarga dalam penanganan masalah ini. Tujuannya, "Agar orang tua berperan baik, sehingga anak-anak tidak lari ke jalanan," kata Mensos Salim Segaf Al Jufri, tentang penanganan anak-anak jalanan.

Namun, dari pendekatan pemerintah dalam menangani anak jalanan, tampaknya ada perbedaan mendasar. Pemerintah menganggap anak-anak jalanan muncul akibat ketidakpedulian orang tua mereka. Karena itu, pendekatan yang digunakan adalah dengan melakukan pembinaan terhadap orang tua dan anak-anak.

Di sisi lain, anak-anak mencari nafkah di jalanan bukan karena ketidakpedulian orang tua mereka. Anak-anak jalanan ikut mencari nafkah karena orang tua mereka tidak punya pekerjaan, atau tidak punya penghasilan memadai untuk menghidupi keluarga. Tidak sedikit dari orang tua anak jalanan ini yang kehilangan penghasilan dari berdagang kaki lima, karena diusir atau digusur. Ketika tidak ada lagi sumber penghasilan, anak-anak pun dilibatkan mencari nafkah.

Soal anak-anak yang harus bekerja, juga tidak hanya di Jakarta, yang sebagian besar mencari nafkah di jalanan. Di pantai Timur Sumatra Utara, ratusan anak-anak bekerja di jermal, tempat menangkap ikan atau hasil laut lain di tengah lautan. Anak-anak tidak hanya bekerja dengan menantang maut, tapi juga harus menghadapi tindakan kekerasan saat bekerja di sana. Mereka pun terpaksa bekerja di jermal karena kebutuhan ekonomi dan juga akibat kemiskinan.

Belum lagi anak-anak yang bekerja di tempat lain, yang jumlahnya juga tidak sedikit. Sebagian besar anak itu terpaksa mencari nafkah karena orang tua mereka miskin atau tidak punya penghasilan.

Betapapun, mereka adalah bagian dari masa depan negeri ini. Karena itu, dalam menyikapi masalah yang mereka hadapi, perlu pendekatan yang komprehensif. Sudah seyogyanya pemerintah mengubah pendekatan dalam menangani masalah anak-anak yang bekerja pada usia dini. Tentu solusinya bukan dengan menyediakan rumah singgah atau menampung mereka agar tidak bekerja saat masih berstatus anak-anak. 

 Sumber : Liputan6.com


Related posts :


0 komentar:


Posting Komentar

 

adsense link 728px X 15px

Recent Posts

Followers